Kamis, 28 Agustus 2008

Burung Camarku

Suara gas sepeda motor mulai berhenti di depan sebuah gerbang sekolah .Aku menatapnya deangan penuh tanya. Ia mulai membuka penutup helmnya dengan mata yang tajam sambil melirik kedua teman di samping motornya. Ya mereka adalah kedua teman Tyo.Bagus dan Prima. Tak lama seorang pria membawa buku yang sangat banyak dan begitu tebal memanggilnya. “Yo..Tyo..”, sapa pria yang bernama Budi. Ia hanya melirik dengan memberi senyuman tipis dari mulut manisnya itu. Pria itu bernama Tyo Prayoga. Seorang pria yang aku kagumi semenjak aku masuk sebuah SMA favorit di suatu kota di daerah Jawa Barat. Aku mengenalnya sebagai seorang kakak kelas ku. Aku masih menatapnya kagum ia mulai turun dari sebuah motor besar bermerk Suzuki Thunder dan membuatku terpana seketika. Dan pada saat itu perutku terasa kejang dan tidak nyaman. Huh… rasanya jantungku mulai berhenti saat itu tapi aku hanya bisa menyapanya malu dan memberi salam.

“Assalamualaikum kak!!” seruku dengan nada gemetar.

“Waalaikumsalam” jawabnya. Aku fikir dia tak akan menjawab sapaanku. Kejutan itu mulai mereda kala ia mulai berlalu menuju kelasnya. Aku kembali berjalan bersama kelima temanku menuju kelas Fisika.

********************************

Teeeeeet….

Teeeeeeeeeet…

Waktu berlalu begitu cepat dan bel sekolah pun berbunyi pertanda bahwa jam belajar telah berlalu dan saatnya untuk istirahat. Aku pun beranjak dari tempat dudukku menuju pintu ke luar. Aku dan teman-temanku pergi menuju kantin sekolahku. Untuk memberi sedikit ganjalan pada perutku yang sudah bernyanyi semenjak palajaran Fisika tadi. Kami menuju kantin yang tak jauh dari tangga menuju aula.

Makanan habis perut pun kenyang dan saatnya duduk di selasar kelas untuk memandangi burung camarku. Itu nama yang kuberikan untuk Tyo sang pria pujaanku. Aku dan teman-teamanku memberi nama itu agar orang-oarang tidak tahu tentang hal ini. Tentang aku yang mengaguminya secara diam-diam. Karena dari awal aku memang tidak ingin ada seorang pun yang tahu kalau aku mengaguminya. Tubuhnya yang berdiri tegap membuatku semakin terpana ketika ia mulai memasukkan sebuah bola basket ke dalam ring.

Slup..

Bola pun masuk ke dalam ring. Oh… Tuhan rasa itu semakin dalam. Aku tau ini tidak boleh terjadi aku tidak boleh seperti ini, Tapi apa daya perasaan ini tumbuh dengan cepat dan aku tak tau kapan ini akan berakhir. Apa seorang wanita muslim tidak boleh merasakan hal ini? Itu yang selalu kepertanyakan dalam hatiku.

Aku masih menatapnya dengan perasaan yang tak karuan. Perutku terasa mulas dan kejang serasa jantung ini akan copot dari tempatnya. Sesekali ia menangkapku sedang menatapnya. Malu rasanya tertangkap basah sedan memandanginya.

Terkejut dan kaget aku rasakan ketika seseorang menepuk pundakku dan bertanya “sedang apa kamu Li?”

Fhuh… ternyata Amel salah seorang teman baikku.

“Oh.. tidak aku hanya sedang menghirup udara hari ini. Hari ini cerah kan??” aku menjawab sambil mengalihkan perhartiannya agar tak curiga akan tingkah laku ku yang semakin salah tingkah. Wajahku mulai memerah ketika amel menebak apa yang ku lakukan di koridor kelas. “Aku tau apa yang kamu lakukan di sini,, pasti liatin kak Tyo ya?” tebak Amel. Tebakkan amel memang benar tapi, aku tak mau siapa pun tau aku memperhatikannya diam-diam.

“Huss…,jangan kencang-kencang, nanti ada yang mendengar!” seruku menutupi rasa malu dalam dadaku.

“Oopss,, sorry aku lupa li..maaf gak sengaja” tanggap Amel cepat. Amel pun mengajakku pergi ke kelas. Memang pada saat itu waktu istirahat sudah habis. Aku bahkan tak sadar kalau waktu sudah memanggilku untuk melanjutkan kewajibanku sebagai pelajar.

***

Aku tahu kecil kemungkinan untukku bisa memiliki burung camarku itu. Karena hatinya telah termiliki wanita lain. Perih memang melihatnya bahagia tapi aku tak bisa melakukan apa pun untuk itu. Aku hanya bisa memandanginya dengan rasa perih, sakit dan bahagia yang berkecimbuk menjadi satu dalam hatiku. Aku tahu burung camarku itu memang dekat dengan teman-temannya. Baik pria maupun wanita. Itu memang sudah menjadi pribadinya yang supel dan tidak pandang bulu. Aku senang sifatnya itu. Tapi di balik kebaikan hatinya aku selalu risih bila dia dekat dengan salah satu teman wanitanya yang bernama Wulan. Bagaimana tidak, dia adalah wanita yang pernah disukai burung camarku.

Waktu semakin berputar dengan cepat. Hari ini hari jum’at tak biasanya aku datang siang hari. Itu karna kakakku yang bangun terlambat. Sehingga aku datang tidak tepat waktu.

“kok telat li?, gak biasanya!” tanya Riani salah satu teman baikku. “iya nih.. kakakku bangun kesiangan.” jawabku dengan nafas terengah-engah karena kecapaian berlari dari pintu gerbang menuju meja piket.

Hari ini begitu berbeda. Tak seperti biasanya. “Mel, burung camarku mana? Dari tadi aku tak melihat batang hidungnya sedikit pun!” tanya ku kepada Amel. “Iya dia sakit Li. Kasian deh!!” jawab Amel. Wajahku mulai panik “Sakit apa Mel?Parah?Sekarang di mana?Terus gimana keadaannya sekarang?”tanyaku dengan suara yang panik. Bagaimana tidak dia orang yang aku sayangi. Aku begtu khawatir dengan keadaannya. “Hus.. satu-satu dong Li nanyanya! Kan bingung.”jawabnya. “Dia sakit flu biasa da sekarang dia di rumahnya.sudah puas?” jawab amel meyakinkanku bahwa burung camarku tidak apa-apa. “Ya aku puas!”, hari itu aku hampir kehilangan semangatku untuk belajar. Tapi teman-temanku selalu mebangkitkan semangat untukku.

Hari berganti hari dan waktu berlalu begitu cepat. Aku mulai tersadar bahwa waktu telah berjalan setengah tahun dan aku tahu perasaan ini tidak pernah berubah. Tapi di lain hal aku tahu bahwa perasaan ini bertepuk sebelah tangan baruku sadari bahwa burung camarku tidak pernah membalas perasaan ini. Yang aku tahu bahwa hatinya telah termiliki. Patah memang hatiku,namun aku tahu bahwa Tuhan memberikan rasa ini agar aku bisa merasakan pahit manis sebuah arti kehidupan. Cinta ini memang bertepuk sebelah tangan. Tapi aku yakin suatu hari aku bisa merasakan arti cinta yang sesungguhnya.

Tuhan memang menciptakan berjuta-juta rasa di dunia ini. Pahit, manis, asam, bahkan asin. Itu semua adalah bumbu kehidupan. Sekang aku sadar. Bahwa belum saatnya aku mendapatkan cinta burung camarku. Tapi aku hanya berdoa ya Allah jiak memang dia bukan untukku saat ini, jauhkanlah dia dariku. Dan jadikan dia sebagai imam dalam hidupku kelak yang bisa memimpinku dan juga keluargaku menuju surgamu itu.